Friday, April 22, 2005

Sang Penjaga Lelap

Malam masih panjang saat sang penjaga pagi bergegas menghampiri sang penjaga penjaga siang dan mengajaknya menutup gerbang terang. Saatnya sang penjaga malam membuka tirai gerbang gelap dan menghamparkan bintang – bintang di langit. Sementara itu di bumi seorang pemuda masih bekerja keras untuk tujuan hidupnya, Lukaman sebut saja begitu saja namanya seorang di akhir usia dua puluhan dan yatim. Yatim, ya yatim yang biasanya sering dikatakan orang – orang di sekitarnya, sebuah julukan yang sudah bebal untuk didengarnya. Padahal bukan salahnya bila ayahnya pergi berperang ke suatu pulau dengan alasan kebangsaan dan akhirnya pulang dikafani. Dengan rasa penghormatan itulah akhirnya setiap orang di desanya selalu mengatakan Lukman adalah sang anak sang penjaga lelap yang selalu menjadi pribadi ganda sang penjaga malam. Itulah yang menjadi obsesi terpendam Lukman dari kecil hingga sebesar ini. Tiap hari dia bekerja keras mengumpulkan uang untuk bertanya kepada sang maha tahu di desanya. Dan sang maha tahu setiap hari menceritakan penggalan kisah sang penjaga lelap yang didengarnya langsung dari sang penjaga siang. Sang maha tahu bukanlah mahluk yang amat saleh atau suci tetapi dia selalu membagikan bayaran ceritanya kepada fakir miskin di desanya. Dan kini sang maha tahu akan mengisahkan bagian akhir dari kisah sang penjaga lelap. Dia meminta Lukman tidak bekerja dan datang di saat senja menjelang. Dengan wajah tuanya dan sedikit lirih sang maha tahu berkata “Lukman, sang penjaga lelap adalah wajah dungu dari dunia, dia akan selalu kuat bila hanya manusia selalu memikirkan dirinya sendiri, dia akan selalu tinggi bila hanya kehormatan diletakkan di bawah kaki, dan dia akan selalu hitam bilamana sang ajal tidak lagi ditakuti”. Dengan penuh harap lukman bertanya “Lalu tuan apakah dia mahluk yang baik atau jahat ?”. Sang maha tahu membalas “Begini saja nak, kau cari saja orang yang paling menderita di desa ini dan katakan padanya apa yang bisa kau bantu”. Setelah perkataan tadi sang maha tahu lalu terdiam dan Lukman sadar bahwa inilah akhir cerita ini. Saat dia pamit dan membuka pintu rumah sang maha tahu lalu kakek itu berucap “Anak muda, sebelum kau pulang ambilah pundi – pundi emas di dekat tungku api itu, itulah keringatmu yang akan membawamu menemui sang penjaga lelap”. Dengan takjub Lukman pun memanggul pundi – pundi itu dan bergegas pulang. Setelah itu diapun sesegera tidur dan menghapus cemasnya dengan senyum untuk misi esok pagi. Saat sang penjaga malam menyelesaikan tugasnya ia pun berbisik pada sang penjaga pagi “Teman, bilamana Lukman berjalan hari ini sediakanlah dia awan yang meneduhi dan angin yang sejuk”. Maka Lukman pun bangun amat pagi hari ini dengan memanggul pundi – pundi dia menyelusuri desanya yang tak lebih lebar bila dibandingkan kota hitam di seberang pulau. Dan berkat bantuan orang – orang di desanya dia pun mendapatkan nama tiga orang paling menderita di desanya. Maka dia pun menyandangi rumah orang pertama itu, sebuah rumah bata dengan warna kusam dan dengan pintu yang disilangi arang hitam. Dengan penuh hormat lalu ia mengetuknya, terdengar sura dari dalam mempersilakannya masuk. “Masuk sobat sudah kutunggu kau sedari tadi, sudah pula kusiapkan jawaban sebelum kau bertanya”. “Bilamana kau ingin membantu aku maka jadilah mataku saatku muda dan peliharalah pandangan itu agar tak jadi buta hanya karena kesenangan sesaat”. Lukman tak sempat mengucapkan terima kasih karena orang tadi malah membekalinya lagi sebuah pundi emas dan menyuruhnya lekas pergi ke orang berikutnya.


Bersambung………………

Saturday, April 02, 2005

Masih…


Akhirnya pilihan itu datang juga, antara kampus dan kantor, dan dengan rasa yang berat terpaksa kuliah di nomor duakan. Terlalu banyak pertanyaan di benak tetapi masihlah sedikit bersyukur karena hal ini terjadi di penghujung masa studi. Teringat juga kata seorang senior yang mengingatkan agar tetap menjaga nilai kuliah dan nyatanya sedikit lumayan. Satu hal yang sulit untuk bergantung dengan yang lain karena mereka pun kadang – kadang sibuk. Saat ke Cirebon kemarin ada sedikit wacana dari seorang bapak yang sama – sama menunggu kereta di stasiun, beliau heran karena saya dengan tergopoh – gopoh membawa tas laptop dan backpack sedangkan kereta masih 1 jam lagi. Dengan tenang dia berkata bahwa saya belum terlambat, yah sebenarnya saya sadar saya tidak terlambat tetapi kalau sudah keasyikan main ke rumah teman yah beginilah. Sambil ngos-ngosan saya mencoba cari bahan pembicaraan dan anehnya bapak itu tahu kalau saya masih kuliah. Lalu dia bercerita adalah seorang PNS yang harus jadi commuter (orang yang pulang pergi rumah kantor (jarak jauh) – Red) dan masih menyelesaikan studi S2 nya di jurusan hukum. Saya sedikit tidak percaya mengingat umurnya yang pasti di atas ayah saya dan gayanya yang pasti sudah berjabatan lumayan. Sebelum sempat bertanya dia malah berkata kalau dia dan saya adalah orang yang diberi kesempatan oleh waktu dan waktu yang tak bersahabat adalah guru terbaik. Great, satu lagi catatan hebat di batin, satu perkataan yang membuat saya merasa menjadi seorang pengeluh berat sebulan belakangan ini. Mungkin saya harus tidak bersahabat dengan waktu tetapi menjadi musuhnya adalah kesalahan besar. Pastinya ini saatnya bangkit dan tetap percaya bahwa studi ini akan selesai…………….

NB :

Mungkin PNS kadang – kadang membuat saya merasa tidak rela dipotong pajak per bulan untuk upah mereka tetapi toh belajar dari sang maha ajar kadang mengajarkan kita untuk terus belajar berpikir benar (Cirebon – Setelah Mid RPL)