Wednesday, August 31, 2005

Yanusa Nugroho…


Akhirnya dapat juga buku lain karya Yanusa Nugroho (Selanjutnya disebut YN – Red), akhirnya ada juga seorang yang berani memporakporandakan kisah perwayangan tentang generasi “Kuru” dan segala intriknya. Dan setelah “Boma” yang sudah dimodernisasi maka buku yang baru saya dapat dengan judul “Manyura” adalah salah satu deskripsi bebas YN dengan referensi pembukuan sajak – sajak Narayan tentang “Mahabharata”. Sedikit banyak kita dapat mengetahui bahwa pertikaian dan intrik bertahan hidup sudah ada sejak dahulu kala, entah apakah semua yang menjadi acuan penulisan kitab. Entah, Mahabharata adalah dari sebuah ulasan cendekiawan saat itu tentang pertikaian politik kerajaan ataukah memang sekedar khayalan manusia saja. Baiklah , saya akan coba bahas buku pertama saya (Entah buku keberapanya YN – Red). Buku ini berjudul Boma, saya ingat sekali kalau saat buku ini diterbitkan berkenaan dengan pemutaran Spiderman-2 the movie di bioskop dan YN sangat mengharfiahkan bacaan komik ke dalam situasi jagat perwayangan. Kisah Prabu Boma Narakasura, yang merupakan seorang Denawa atau raksasa kali digubah habis menjadi seorang anak manusia yang mempertanyakan asal – usul jatidirinya, asal mula penciptaannya. Seorang jiwa pemberontak generasi- x (hidup di awal tahun 2000-an –Red), dengan kenyataan pahit bahwa sekuat apapun dia menentang takdir akhirnya harus tewas di tangan ayahnya sendiri. Saya sangat terkesan dengan cerita ini, karena akhir tahun lalu saat pulang ke rumah nenek di Jogja saya mengikuti pagelaran wayang kulit dengan tema yg sama, dan anehnya saya dapat menikmati gubahan liar YN sama dengan ceritera aslinya. Mungkin saya bukan penikmat buku dengan genre non-fiksi yang rajin mengikuti perkembangannya, akan tetapi setiap membaca karya YN saya diharuskan untuk mencari referensi lain untuk membandingkan pemikirannya. Disini penggambaran seorang Prabu Kresna yang merupakan tokoh nomor satunya kisah kuru, dijadikan sebuah peringatan bahwa setiap anugerah lebih dari tuhan juga diperlukan tanggung jawab lebih. Pahit atau manis nantinya sudah merupakan kehendaknya, tinggal sang pelaku inilah yang menentukannya. Sekali lagi saya hanya pembelajar yang kembali menggali jiwa luhur negeri ini karena saat anda berada di luar negeri anda akan pahami bahwa kebudayaan kita patut dihargai lebih dari sekedar medali tanda jasa.