Sunday, September 19, 2010

Ekonomi Spiritual

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai Ekonomi Spiritual , pandangan tentang ekonomi dimensi keharmonisan dan nilai tambah sosial. Beberapa prinsip yang mendukung Ekonomi Spiritual ini membentuk pola pikir, sikap dan perilaku suatu sistem ekonomi menunjukkan kebersamaan dalam keterikatan (sebab akibat), seimbang dalam saling melengkapi dan dinamis dalam kehidupan manusia baik perlombaan dan prestasi.

(Ekonomi, Uang, Dampak Sosial)



1. Latar Belakang

Dalam sebuah diskusi tentang industri kesehatan, seorang konsultan keuangan mengemukakan pertanyaan ke pelaku industri yang mengalami kebangkrutan: “Menurut anda apa yang merupakan penyebab dari kesulitan keuangan sebuah rumah sakit?”. Dengan lugas direksi dari perusahaan tersebut menjawab “Keinginan yang terlalu banyak dari karyawan melalui serikat buruh, permintaan dari dokter- dokter yang terlalu banyak, dan para pasien yang tidak mampu membayar tagihan.”

“Bukan,” jawab konsultan tersebut, “penyebab utama dari kesulitan di organisasi tersebut adalah keserakahan, keegoisan dan perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap kebutuhan dari masyarakat di dalam dan pengguna jasa organisasi.”

Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Pada masyarakat terpandang, berpendidikan tinggi yang digolongkan mampu bertanggung jawab dan memiliki prinsip. Satu persatu para pelaku industri tersebut mencoba membuka mata dan menyadari indikasi yang jelas tentang hal – hal yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat pengguna, sikap bersitegang baik dengan para dokter atau staf yang bekerja, ketidakmauan untuk berinvestasi untuk sistem, perangkat dan kebijakan baru. Semua keputusan dan perilaku ini sebelumnya menjadi pembenaran bagi mereka dalam mengambil keputusan untuk organisasi dan utamanya mempertahankan keuntungan.

Dalam menghadapi krisis ekonomi saat ini, ketidakstabilan pasar saham, serta kesulitan keuangan individual, pernyataan yang banyak terpampang di media adalah “apa yang harus kita lakukan mengenai hal ini?”, lalu “Siapakah yang harus disalahkan?”.

Sebagaimana yang telah disebutkan di permulaan tulisan tentang dewan direksi yang mengalami kebangkrutan di organisasi mereka, negara pun berusaha untuk mencari solusi pembenahan yang cepat dan pengalokasian miliar atau triliunan yang tepat kepada sasaran yang dituju.

2. Konsep Uang

Uang ditampilkan sebagai sumber dan solusi dari masalah kita. Bahkan masalahnya kini adalah pemikiran bahwa hanya uang sajalah yang menjadi solusi permasalahan kita.

Pandangan mengenai uang menjadi sumber dan solusi masalah kita membawa bangsa ke situasi kalah : Kita membutuhkan uang untuk memecahkan masalah dari kekurangan uang, akan tetapi mengambil uang dari diri kita sendiri akan menjadi masalah kekurangan uang.

Semua perhatian seakan terpusat ke uang, dimana uang dicari, siapa yang mempunyainya, siapa yang menghabiskannya, siapa yang memerlukannya, dan siapa yang dengan bijak mengeluarkannya ?

Lalu timbul perhatian tentang solusi penyelamatan keuangan yang secara garis besarnya sebagai berikut :

- Pembatasan pengusaha dari “hasil perolehan” uang lewat cara “penyebaran kekayaan” melalui pajak tinggi terhadap pelaku bisnis yang menghasilkan kekayaan oleh negara.

- “Menyelamatkan” mereka yang melakukan pemborosan akan uang dengan memberikan mereka lebih banyak uang bukan merupakan hal yang cerdas

- Melakukan negosiasi kembali dengan mereka yang telah melakukan melakukan pembelian sesuatu yang sesungguhnya jauh di atas jangkauan mereka akan membuat pengeluaran mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Semua perhatian akan hal ini kemudian disahkan menjadi kebijakan dan kemudian ekonomi jelas berdasarkan penghasilan, akumulasi dan distribusi dari uang.

Kenyataannya adalah setiap penggunaan uang akan menghasilkan sesuatu yang baik dan buruk, tergantung akan kejelasan, motivasi dan kejujuran dari siapa yang diberi kepercayaan untuk mengeluarkan uang, dimana setiap orang menggunakan uang.

Untuk memandang Ekonomi = Uang semakin mempromosikan sifat keserakahan, sesuatu yang perekonomian saat ini derita secara akut. Bilamana uang dilihat sebagai sumber dan tujuan dari bisni (kemudian berlanjut ke uang), kemudian pelaku bisnis terpusat dalam menghasilkan uang untuk diri mereka sendiri, pasar saham mereka dan bisnis mereka saja. Dalam iklim ini kemudian inovasi dan ide dituangkan lebih kepada menghasilkan uang dan mendapat lebih banyak, dan tentu saja “efek samping” yang timbul adalah keserakahan dan korupsi. Segala sesuatu yang menghasilkan uang menjadi dibenarkan dan diterima. Seperti obat, “efek samping” kadang lebih mematikan dari penyakit.

3. Tujuan Bisnis

Apa yang menjadi tujuan bisnis ?

Tujuan dari bisnis bukanlah menghasilkan uang, atau bahkan kehilangan uang.

Tujuan dari bisnis adalah untuk melihat kebutuhan sebenarnya dan mengisinya dengan produk atau jasa yang handal melalui organisasi yang efisien. Hasil dari bisnis yang baik adalah kesejahteraan untuk semua. Siapapun yang menjalankan bisnis, menghasilkan produk atau layanan, dan mereka yang membeli produk/jasa. Ada kebutuhan tidak ada batas dalam kekayaan bagi mereka yang menjaga agar bisnis tetap berguna dan efisien. Keuntungan setiap orang. Individual, masyarakat, bangsa dan global bergabung dalam usaha ekstra mencapai kebutuhab sebenarnya dan kesejahteraan baik secara individual dan kolektif. Ini adalah ekonomi yang berbasis pemikiran bahwa sesuatu yang baik untuk seseorang tentu baik juga untuk kebanyakan. Ide ini adalah sesuatu yang tidak bisa diwakilkan, diregulasikan atau dimanipulasi.Merupakan ide yang bila dimengerti oleh individual/pengusaha/pelaku bisnis akan menjadi arahan dan inspirasi dari setiap kegiatan yang dilakukan. Setiap pribadi yang hidup dengan prinsip ini akan menjadi pribadi terpercaya dan kebutuhan dalam bisnis yang dilakukan pun tercapai

Inilah sesungguhnya inti dari ekonomi yang dicita – citakan oleh para founding fathers atau pendiri bangsa. Kesempatan untuk melihat kebutuhan nyata, mengembangkan organisasi untuk melayani kebutuhan dan keuntungan dari kesejahteraan yang dihasilkan untuk semua.

Poin ini untuk motivasi perseorangan sebagai sumber dari masalah dan sumber juga dari solusi. Triliunan rupiah dapat dialirkan ke dalam sistem, dan bilamana keuntungan pribadi dan keserakahan menjadi pokok dari motivasi maka ekonomi akan menjadi sulit. Sebaliknya, kesejahteraan akan merata dimana ada motivasi yang berbasis dengan keinginan baik.

Tantangannya kemudian adalah bukan tentang “apa yang harus dilakukan, “melainkan memahami dan menghadapi masalah sebenarnya dan menumbuhkan ekonomi berbasis kesejahteraan dengan prinsip solid, teruji dengan waktu dari bisnis dan kehidupan yang baik. Meskipun, bukanlah individual yang dapat disalahkan bila terpengaruh iklim keserakahan, tetapi individual dapat melihat bagaimana masalah dan berpartisipasi dalam solusi.

Ini dinamakan Ekonomi Spiritual karena didasarkan pada apa yang tidak bisa diwakilkan, dimanipulasi, diatur atau dikontrak. Berdasar pada sesuatu yang bersifat non-materi, sesuatu yang kita mempunyai kapasitas untuk mengenalinya bilamana kita melihatnya. Kebenaran ini tidak dapat dapat disangkal. Pasti hal ini akan menjadi perdebatan dalam hal idealistik, kebanyakan dari bisnis yang berjalan bersifat serakah dan sudah berjalan dalam waktu yang lama. Tetapi bila kita menerima hal tersebut sebagai kenyataan, kita ditakdirkan untuk melanjutkan spiral konstan keuntungan dan kerugian, dan terus menerus berkutat bersaing antara orang-orang yang kaya dan mereka yang miskin.

Ada banyak contoh dari pengusaha, penemu, pendidik, anggota dewan yang mampu melihat kebutuhan sebenarnya, merespon hal ini dengan ide, produk atau layanan dan makmur. Mereka yang telah makmur dari mengetahui kebenaran ini tidak termotivasi utama oleh uang. Mereka termotivasi oleh ide-ide yang baik, sistem yang efisien dan keunggulan pribadi. Ekonomi spiritual ini karena didasarkan pada sesuatu yang tidak berwujud belum substansial, tak terlihat namun dapat diketahui, tak terlihat namun dikenali.

Individual yang sama ini mengakumulasi kekayaan besar dari pelaksanaan ide-ide yang baik lalu mengalirkan kekayaan mereka kembali ke masyarakat melalui kegiatan amal dan visi yang tidak mementingkan diri sendiri. Ini merupakan kelanjutan dari penilaian ide bagus, sistem yang efisien dan keunggulan pribadi.

Kabar baiknya adalah bahwa untuk mengembalikan ekonomi ke jalur yang benar tidak mengharuskan kita menunggu untuk "menetes ke bawah" ketika seseorang menemukan apa yang harus dilakukan dan melakukannya. Ini adalah sesuatu yang kita semua dapat perhatikan sekarang.

Ketika ketakutan tentang masalah keuangan timbul! bukanlah uang yang menghasilkan ide yang baik. Ini adalah karunia yang diberikan tuhan dari pikiran yang terbuka dan penerimaan yang memungkinkan ide-ide baru dan baik mengalir tepat untuk situasi menantang pada saat itu. Ini tak ternilai.

  1. Pengertian Ekonomi Spiritual

Dikarenakan beberapa fenomena yang disebutkan diatas sekarang mulai berkembang apa yang dinamakan Spiritual Economics, sebuah mazhab yang mencoba melihat persoalan ekonomi tidak hanya dari perspektif material semata, melainkan juga perspektif spiritual. Kemunculan mazhab ekonomi spiritual ini merupakan antitesis terhadap pendekatan ekonomi neoklasik yang lebih menitikberatkan kesejahteraan pada tingginya angka pendapatan dan pertumbuhan ekonomi semata.

Amit Goswani, seorang pakar asal Universitas Oregon AS, menyatakan bahwa kebutuhan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tingkatan. Pertama, kebutuhan material, yaitu kebutuhan yang tingkatannya paling rendah. Kedua, energi vital, yang bersumber dari kekuatan perasaan. Ketiga, kebutuhan mental, yang terkait dengan kekuatan pemikiran. Keempat, kebutuhan supramental, yang terkait dengan etika, cinta, kepedulian terhadap sesama, dan kebahagiaan hakiki.

Goswani menyatakan bahwa ekonomi spiritual harus mampu menyediakan ruang bagi keempat tingkatan kebutuhan manusia tersebut. Salah satu kegagalan ekonomi neoklasik adalah ia lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan materialisme dibandingkan aspek lainnya. Seluruh premis dan teori yang dibangunnya mengasumsikan bahwa manusia hanya sebagai makhluk material semata. Sementara itu, persoalan seperti cinta dan kepedulian sama sekali tidak tercermin dalam asumsi dan teori dasar ilmu ekonomi yang dibangunnya. Padahal, bangunan ilmu inilah yang akan menggerakkan arah sebuah sistem karena sistem sesungguhnya merupakan implementasi dari ilmu. Inilah yang kemudian menciptakan persoalan sosial berkepanjangan. Pendapatan boleh tinggi, namun jiwa mengalami kegelisahan, kekeringan, dan kehampaan.

Kondisi di atas pada dasarnya merupakan potret atas pengabaian fitrah manusia dalam ekonomi konvensional. Homo economicus merupakan profil manusia yang lebih mengedepankan self interest dibandingkan social interest.

Karena itu, menerapkan sistem ekonomi yang menjunjung tinggi fitrah manusia adalah sebuah keniscayaan. Di sinilah urgensi menjadikan ekonomi spiritual sebagai panglima kebijakan pembangunan. Ekonomi spiritual adalah ekonomi yang dibangun di atas fitrah dasar manusia. Pendekataan yang digunakannya lebih humanistik dan sesuai dengan karakter dasar manusia. Contohnya adalah ajaran tentang zakat dan infak (ekonomi spiritual berbentuk ekonomi syariah).

Meminjam kacamata spiritual economics, instrumen zakat dan infak ini telah memenuhi syarat pemenuhan keempat kebutuhan manusia. Adanya transfer aset dan kekayaan dari kelompok the have kepada kelompok the have not menunjukkan terjadinya pemenuhan kebutuhan material kelompok dhuafa.

Selanjutnya, bagi muzaki dan munfik, ajaran zakat dan infak akan membersihkan jiwa, hati, dan pikiran (dalam agama islam diterangkan di Al-Quran Surat Attaubah: 103) sekaligus mendorong munculnya perasaan belas kasih terhadap mereka yang mengalami ketidakberuntungan. Sedangkan, bagi mustahik, keberadaan zakat akan menghilangkan perasaan dengki atas kekayaan yang dimiliki oleh muzaki. Sehingga, akan tercipta paradigma bahwa membela nasib sesama merupakan kebutuhan dasar bagi setiap insan. Pada akhirnya, kondisi ini akan melahirkan kekuatan dan kebersamaan sosial yang sangat tinggi. Dengan membela kaum yang lemah, kesejahteraan ekonomi sekaligus harmonisasi sosial akan berjalan beriringan. Tidak ada konflik di antara keduanya. Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Sesungguhnya, kalian akan ditolong dan diberi rezeki karena telah memerhatikan orang-orang yang lemah.”

Sebaliknya, jika yang berkembang adalah logika eksploitasi sekelompok manusia atas kelompok manusia yang lain, kehancuran masyarakatlah yang menjadi hasilnya. Pertumbuhan ekonomi yang dinikmati segelintir kelompok hanya akan menjadi sumber konflik dan destruksi sosial. Karena itu, kembali kepada ekonomi spiritual merupakan upaya kita untuk memfitrahkan kembali sistem perekonomian nasional yang lebih mencerminkan keadilan dan kebersamaan. Proses penguatan instrumen ekonomi spiritual dalam bentuk syariah pada semua tingkatan masyarakat yang saat ini sedang dilakukan harus mendapat dukungan kita semua.

5. Ekonomi Spiritual Sebagai Satu Alternatif

Saat ini ekonomi kita di satu sisi sedang menuju recovery dari keterpurukan akibat beberapa kejadian nasional maupun internasional. Di sisi yang lain beberapa anjuran yang diterima untuk mempersiapkan bangsa ini dari arus globalisasi. Ikut bersaing dengan skala internasional. Di tengah persaingan global ini pergulatan penerapan teori ekonomi sebagai satu pemecahan masih sangat seru. Tarik menarik antar satu aliran dengan aliran lain.



Sejak abad pertengahan ketika prinsip-prinsip etika yang mewarnai ilmu ekonomi mulai ditinggalkan, nilai ekonomi yang sekuler mendapat tempat dihati masyarakat dan sangat popular. Seperti siang berganti malam, The Moral Sentiment-nya Adam Smith yang terbit 1759, memberikan semangat spiritual yang tinggi pada ilmu ekonomi. Pesan tersebut seperti: selflove, moralitas, justice, equality, equity, humanity, religious values, social welfare, public needs, public interests, solidarity dll. Pengertian-pengertian ini bisa sebagai modal untuk memberi semangat spiritual di dalam ilmu ekonomi. Sembilan belas tahun kemudian (waktu yang begitu pendek dibandingkan dengan masa-masa perkembangan ilmu ekonomi) terbitlah buku karangan dari Adam Smith yang kedua dan isinya sangat kontras bagaikan siang dengan malam. Buku tersebut berjudul An Inquiry into the Nature of the Wealth of Nations. Yang mengherankan adalah orang-orang lebih tertarik pada isi buku yang kedua ini. Jargon-jargon ilmu ekonomi yang dikumandangkan Adam Smith dalam bukunya antara lain: Homoeconomicus, free entry free exit, least cost combination, profit maximization, economic animal, free competition, invisible hand. Kata kunci dari semua jargon ini adalah efisiensi. Siapa yang bekerja dengan efisien dapat tinggal dipasar dan hidup. Yang tidak efisien keluar pasar dan mati alias gulung tikar.

Semenjak itu pemikiran Adam Smith banyak diikuti para pemikir yang bergabung dalam satu aliran yang disebut Klasik. Dari sudut pandang Klasik, ekonomi diatur melalui mekanisme pasar, harga diatur oleh ‘invisible hand’. Pemerintah harus menahan diri untuk mengatur kegiatan ekonomi. Biarkan upah, sewa, gaji, pendapatan, kesejahteraan, bunga, dan keuntungan diatur oleh pasar. Banyak ahli ketika itu sangat optimis akan aliran ini. Jean Baptiste Say bahkan mengatakan dengan ide ini tidak akan terjadi kelebihan produksi, tidak ada sumber-sumber atau faktor produksi yang menganggur. Penawaran itu sendiri yang akan menciptakan penawaran katanya. ‘Supply create its own demand since the aggregate cost of production is spent for the aggregate product’ begitu yang ditulis dalam bukunya ‘Treatise on Political Economy (1821). Disamping rasa keoptimisan para pemikir tadi, di sisi lain ada juga yang merasa pesimis akan kondisi perekonomian ketika itu. Diantaranya Thomas Robert Malthus, yang mengatakan bahwa laju perkembangan penduduk terlalu cepat dan tidak bisa terkejar oleh laju pertambahan bahan makanan. Digambarkan laju pertambahan penduduk mengikuti kaidah deret ukur, sedangkan laju pertambahan makanan mengikuti deret hitung. Ini artinya suatu saat dunia ini akan mengalami kelaparan jika jumlah penduduk telah melebihi jumlah bahan makanan.

Berabad-abad jalan pikiran Klasik ini berjalan tanpa hambatan, sampai suatu saat menjelang pertengahan abad 20, terjadi krisis dunia yang cukup parah. Pengangguran besar-besaran terjadi, inflasi sangat tinggi, kelaparan terjadi pada belahan dunia berkembang. Aliran Klasik ini tidak bisa menjelaskan kenapa bisa terjadi stagflasi tersebut. Akhirnya tahun 1936 datang John Maynard Keynes yang mengklaim bahwa ajaran Klasik telah usang dan tidak bisa menyembuhkan ‘twin devil’ perekonomian yaitu pengangguran dan inflasi. Kyenes mengganti dengan ajarannya yang mengatakan bahwa pemerintahlah yang harus mengatur semua ini. Kegiatan ekonomi sebaiknya diatur oleh pemerintah baik langsung maupun tidak langsung melalui kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan lainnya. Jalan pikiran ini diatur dalam bukunya: The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936). Pendapat Keynes ini juga tidak bertahan lama, karena resesi kembali melanda negara-negara Barat dan negara industri lainnya pada tahun 1970-an, awal 1980-an dan terakhir tahun 1990-an. Aliran klasik muncul lagi setelah mengetahui konsep Keynes mengalami kegagalan dengan adanya tiga kali resesi semenjak 1936. Aliran Klasik yang muncul dengan beberapa tambahan penekanan seperti yang dikenalkan oleh Milton Friedman dan kawan-kawan. Friedman menganut aliran moneteris, yang menekankan kebijakan moneter secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Disamping itu terdapat pula aliran ‘sisi penawaran’ atau supply side economics. Aliran ini dibangun 1970-an sebagai reaksi atas perlakuan Keynes terhadap sisi permintaan.



Akhirnya sampai dengan penghujung abad 20 campuran antara aliran Keynes dan Klasik baru masih mewarnai kebijakan ekonomi yang pada dasarnya adalah penterapan ajaran Klasik yang ditambah dengan campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter baik langsung maupun tidak langsung.

Beberapa Kegagalan Sistem Ekonomi Pasar/Material

Sistem ekonomi yang kita warisi sekarang sangat kental peninggalan pemikir Klasik dan Klasik Baru yang notebene literature Barat terutama Amerika Serikat. Semua aliran dalam sistem ekonomi diatas hanya menekankan pada ekonomi material saja. Belum memikirkan bahwa disamping dunia yang kita jalani masih ada dunia lain yang perlu akan dilakoni. Dunia itu dunia akhirat. Sehingga hukum sebab akibat antar dunia kini dengan dunia nanti (akhirat) mungkin berlaku termasuk pada kegiatan ekonomi.



Banyak hal yang kurang cocok dengan kondisi masyarakat kita yang agraris-religius. Beberapa kegagalan dari konsep ekonomi material tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.



(1). Pasar, yang dibentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang diatur oleh kekuatan ‘invisible hand’ selalu mengabdi pada golongan yang mempunyai daya beli. Mengabdi pada golongan kaya. Bagaimana bagi golongan masyarakat yang tidak mampu membeli? Tidak punya daya beli atau berada dibawah bayang-bayang harga pasar? Tangan-tangan-tidak-kelihatannya Adam Smith tidak bisa mengatur atau memperbaiki kekurangan ini.



(2). Homoeconomicus. Arsitektur ekonomi pasar mempunyai anggapan bahwa manusia dalam tindakanya adalah rasional. Jika memperoleh keuntungan dibuat maksimum, dan jika menderita rugi diusahakan rugi sekecil-kecilnya. Anggapan bahwa masyarakat hanya ingin mencari untung sebanyak-banyaknya belum tentu benar. Ada yang mau sekedar untung tapi bisa menampung tenaga kerja yang banyak. Jadi ada distorsi anggapan dalam hal ini.



(3). Efisiensi. Kata kunci dari persaingan bebas adalah diperlukan adanya efisiensi dalam usaha. Siapa yang efisien akan bisa hidup dan bisa melakukan transaksi sedangkan yang tidak efisien akan bangkrut lalu keluar pasar (free exit and free entry). Persoalannya adalah siapa umumnya yang bankrut atau exit? Umumnya terdiri dari rakyat kecil, rakyat kebanyakan (pelaku ekonomi dengan skala kecil/golongan ekonomi lemah/ pelaku ekonomi usaha mikro, kecil dan menengah/sektor informal). Inilah kondisi ketidak adilan yang muncul sebagai akibat efisiensi dalam prinsip persaingan bebas. Oleh karena itu ekonomi skala kecil yang dominant dilakukan dan dimiliki rakyat kecil perlu perlindungan dari arus praktek-praktek persaingan bebas yang menganut prinsip efisiensi.



(4). Globalisasi. Pasar global menganut beberapa prinsip seperti persaingan bebas, efisiensi, homoeconomicus, free entry-free exit. Semua prinsip ini menimbulkan ketidak adilan pada masyarakat. Jika diamati praktek-praktek pasar global dengan skala kecil telah memasuki kehidupan ekonomi masyarakat kita. Ini perlu diwaspadai. Ketidak adilan akan menimbulkan keterasingan (exit) dan akhirnya kemiskinan dan keterbelakangan.



(5). Industrialisasi. Kesalahan pada industrialisasi terjadi ketika ditengarai bahwa buruh dibayar sangat rendah, sehingga majikan dianggap memeras keringat buruh. Industri hidup berdasarkan nilai lebih yang dihasilkan buruh pabrik. Prabhupada mengatakan: Satu dolar yang diberikan pada buruh akan menghasilkan keuntungan sepuluh dolar [1]. Kesalahan pada ekonomi pasar dimana terdapat dua penyakit kembar dalam masyarakat akan selalu muncul selama ekonomi ini menganut system ekonomi pasar. Dua penyakit kembar itu adalah pengangguran dan inflasi. Salah satu dari kedua penyakit ini akan selalu muncul. Karena jika pengangguran diobati akan muncul inflasi, demikian sebaliknya. Banyak lagi kesalahan-kesalahan ekonomi pasar lainnya.



Lalu apakah kita menolak sama semua bentuk ekonomi pasar dengan beberapa atributnya? Tentu saja tidak. Di balik beberapa kelemahan (failure) ekonomi pasar terdapat beberapa aspek positif yang dimiliki seperti jiwa bersaing, prinsip efisiensi namun harus diikuti dengan mengangkat nilai-nilai budaya lokal (local genius). Semangat bersaing memang baik tetapi mengingat hal-hal buruk yang diakibatkannya perlu diwaspadai. Koreksi yang kreatif (meminjam istilah Sri-Edi Swasono,2003) perlu diadakan.

6. Kesimpulan

Filsafat ekonomi spiritual adalah suatu cara pandang dimana ekonomi dibentuk dari cara berkeTuhanan yang Maha Esa dan bertujuan untuk keadilan sosial yang tinggi di masyarakat. Oleh karenanya ekonomi yang berspiritual tidak memandang laba sebagai tujuan, karena menurut hukum sebab akibat, dimana kita melakukan suatu kegiatan yang memenuhi kebutuhan, maka laba atau untung itu datang menyertai dari suatu kegiatan. Keadilan sosial adalah untung atau laba tertinggi dari kegiatan ekonomi itu.



Seperti kata falsafah yaitu "karmany eva dikharaste ma phalesu kadacana" yang artinya bahwa kita bekerja jangan terikat oleh hasil dari kerja tersebut. Falsafah tersebut mengajarkan kita untuk menjadikan laba bukan hal terpenting yang diutamakan dalam kegiatan ekonomi.

Referensi :

Seminar Indikator Kinerja Keuangan RS Non Profit, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada,30-31 Maret 2010.

Abel, A.B. and Ben S. Bernanke. 2001. Macroeconomics. Adison Wesley Longman Inc. Boston.

Friedman M. and Friedman, R.D. 1980. Free to Choose. Martin Secker & Warburg Ltd. London.

Swasono Sri-Edi. 2003. Ekspose Ekonomika Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi. Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM. Yogyakarta.

http://www.stei-jogja.ac.id/dartikel.php?id=5

http://irfansb.blogdetik.com/2010/01/24/refleksi-ekonomi-berbasis- spiritual/

Beberapa website, untuk mbak dan mas saya pinjem yah idenya.

No comments: