Monday, September 06, 2010

Manajemen Risiko Perbankan - Sekilas

MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN



I. PENDAHULUAN





Industri perbankan adalah suatu industri yang sarat dengan risiko, terutama karena melibatkan pengelolaan uang masyarakat dan diputar dalam bentuk berbagai investasi, seperti pemberian kredit, pembelian surat-surat berharga dan penanaman dana lainnya.

Dengan begitu, dapat dikatakan, bahwa semua kegiatan bank, baik yang berasal dari aktiva maupun pasiva mengandung berbagai jenis risiko, baik itu risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas maupun risiko-risiko lainnya. Besar kecilnya risiko itu akan sangat tergantung pada berbagai faktor yang terkait, misalnya kemampuan dan kejelian manajemen dalam mengelola hal itu.

Karenanya, untuk meminimalisir risiko-risiko yang dihadapi, maka manajemen bank harus memiliki keahlian dan kompetensi yang memadai, sehingga berbagai risiko yang berpotensi muncul dapat diantisipasi dari awal, dan dicari cara penangananya secara lebih baik. Diharapkan, risiko yang muncul akan dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga potensi kerugian yang akan diderita dapat ditekan seminimal mungkin.

Risk Management sebenarnya diperlukan bukan hanya di dunia perbankan namun dapat juga diterapkan di berbagai aktivitas. Faktor risiko yang dipertimbangkan akan berbeda dari aktivitas yang satu dengan yang lain. Dalam dunia perbankan, hal tersebut sangat menarik untuk disimak mengingat faktor risiko yang terjadi dapat bersumber dari berbagai faktor serta definisi risikonya terbatas menyangkut kepada kerugian yang mungkin timbul di masa mendatang. Dalam hal ini, risk management di perbankan diharapkan dapat mengendalikan risiko-risiko yang mungkin timbul untuk mengurangi kerugian apabila terjadi.

Tentunya terdapat pertanyaan: apakah pada saat ini perbankan di Indonesia belum secara utuh menerapkan risk management? Perbankan di Indonesia tentunya sudah melakukan analisis-analisis dan teknik yang berkaitan dengan upaya untuk mengurangi kerugian yang timbul dimasa mendatang melalui proses pengelolaan risiko kredit seperti analisis kredit. Kegiatan demikian sudah merupakan salah satu dalam proses pengendalian risiko, sehingga kalau dikatakan bahwa perbankan di Indonesia sama sekali belum menerapkan pengendalian risiko juga tidak sepenuhnya valid. Namun demikian pendekatan dalam pengendalian risiko masih menggunakan teknik dan pendekatan konvensional, sehingga efektivitasnya masih dipertanyakan, belum efektif dan perlu diuji kembali konsistensi penerapannya.

Dengan diterapkannya perhitungan kebutuhan modal minimum yang dihitung berdasarkan risiko secara internasional melalui rekomendasi yang dikeluarkan Basle Committee on Banking Supervision (i.e. Basle Accord 1988), maka perkembangan risk management semakin pesat untuk mengembangkan perhitungan risiko yang lebih akurat (modelling). Kondisi demikian didasarkan kepada diperbolehkannya Bank-bank dalam menghitung kebutuhan modal minimum dengan menggunakan internal model khususnya risiko pasar (Amandemen Basle Accord, BIS, 1996), dengan persyaratan-persyaratan tertentu.

Mengingat risk management secara utuh di Indonesia masih dalam proses persiapan untuk penerapannya, tentu masih banyak para praktisi perbankan masih perlu pemahaman secara lebih mendalam berkaitan dengan risk management. Paper ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang risk management.





II. MENGAPA RISK MANAGEMENT DIPERLUKAN?



Dalam setiap usaha tentunya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan (return) dengan mengeluarkan biaya seminimal mungkin. Namun terdapat beberapa faktor yang sulit untuk dikendalikan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Dalam penerapannya terdapat beberapa kendala:

a. Kontrak antara nasabah dan Bank itu mengikat dalam jangka waktu yang relatif lama, sehingga dapat terjadi bahwa return secara jangka pendek baik namun secara jangka waktu yang relatif panjang perlu diprediksi dari awal seberapa jauh kemungkinan return tersebut sulit diperoleh kembali di masa mendatang.

b. Terdapat moral hazard dari counterparties untuk tidak memenuhi kewajibannya di masa mendatang.

c. Bank tidak mempunyai kemampuan untuk selalu memantau secara ketat kondisi counterparties.

d. Terdapat constraint dari internal management Bank untuk melakukan pengendalian secara comprehensive terhadap seluruh komponen yang dapat merugikan Bank.

e. Terdapat moral hazard dari business unit untuk selalu mengutamakan return dan mengesampingkan risk.

Kondisi tersebut di atas terasa sekali terutama terdapat pada Bank-bank yang belum secara formal menerapkan risk management, akibatnya sering sekali terjadi bahwa Bank menyadari adanya kerugian setelah keuntungan Bank menurun atau tersedianya modal Bank berkurang. Risk management diharapkan dapat mendeteksi maksimum kerugian yang mungkin timbul di masa mendatang serta kebutuhan tambahan modal apabila dampak proyeksi kerugian dimaksud dapat mengakibatkan jumlah modal di bawah ketentuan minimum yang dipersyaratkan otoritas pengawasan.

Bagi pengelolaan Bank yang dilakukan secara konvensional umumnya belum secara formal melakukan proyeksi maksimum kerugian yang mungkin timbul di masa mendatang, sehingga kerugian-kerugian yang timbul benar-benar disadari setelah terjadi serta belum secara efektif dikendalikan sebelum kerugian benar-benar terjadi.



III. RISIKO DI BIDANG PERBANKAN



Usaha jasa perbankan mengandung beberapa unsur risiko mengingat kontrak antara Bank dengan nasabah mengikat dalam kurun waktu ke depan. Dengan demikian masing-masing pihak mempunyai moral hazard untuk tidak memenuhi kewajibannya di masa mendatang atau kondisi external (pasar) berubah ke arah yang merugikan Bank antara lain fluktuasi nilai tukar dan suku bunga. Kemungkinan tidak terpenuhinya kewajiban nasabah kepada Bank maupun fluktuasi faktor external perlu dikendalikan untuk meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi di Bank. Proses dalam mengendalikan berbagai risiko dimaksud perlu diformalkan dalam management Bank.

Ada empat risiko utama yang umumnya ada dalam sebuah bank :



a. Risiko Kredit yaitu risiko yang timbul apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya.

b. Risiko Pasar berhubungan perubahan harga – harga pasar atau suku bunga

c. Risiko likuiditas yaitu perubahan asset dan kewajiban yang tiba – tiba karena kejadian yang tidak diharapkan. Bank perlu memelihara dana dalam jumlah yang memadai dan aktiva lancar untuk mengakomodasi perubahan – perubahan dan permintaan dana muncul dari waktu ke waktu.

d. Risiko operasional yaitu potensi terjadinya kerugian karena kesalahan manusia atau kegagalan proses dan pengendalian operasional bank sehari – hari



Risiko dapat berupa risiko kredit apabila nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. Namun demikian masih banyak risiko-risiko lainnya seperti risiko nilai tukar, suku bunga dan operasional yang sering sekali dapat menyebabkan Bank mengalami kerugian yang cukup besar. Masih terdapat beberapa risiko yang juga dapat menimbulkan kerugian bagi Bank seperti reputational risk, strategic risk, legal risk, political risk, country risk, namun quantifikasi dan management dari risiko dimaksud masih sulit dilakukan. Mengingat tidak setiap risiko selalu menjadi ancaman bagi Bank, maka setiap Bank akan melakukan identifikasi terhadap risiko-risiko yang mungkin timbul serta melakukan manajemen risiko sesuai dengan tingkat kompleksitas usahanya.

Dalam menerapkan manajemen risiko, proses yang dilakukan meliputi:

a. menyusun business plan tahunan untuk masing-masing business unit dengan mengacu kepada arahan dari top management berkaitan dengan sasaran tahunan yang ingin dicapai maupun risiko yang perlu dipertimbangkan;

b. menyusun proyeksi risiko yang dengan mengacu kepada business plan serta posisi modal yang diperlukan untuk mendukung dalam pelaksanaan business plan dimaksud. Apabila modal yang tersedia belum mencukupi maka dilakukan pembicaraan di senior management level untuk melakukan penyetoran modal atau melakukan revisi business plan.

c. Menetapkan pendelegasian wewenang kepada setiap business unit yang terlibat untuk menerapkannya serta rambu-rambu yang perlu di patuhi berupa limit-milit risiko agar Bank dapat mengendalikan risiko secara keseluruhan sejalan dengan strategi Bank.

d. business unit melaksanakan fungsinya dengan mematuhi limit-limit yang telah ditentukan.

e. risk management unit melakukan monitoring atas risiko yang di eksposoleh masing-masing business unit maupun melakukan konsolidasi terhadap seluruh risiko serta memonitor posisi modal yang tersedia.

f. apabila terjadi pelaksanaan yang menyimpang maka perlu dibicarakan pada risk management committee untuk mendapatkan keputusan maupun rekomendasi kepada manajemen puncak.

Dalam penerapan risk management diperlukan prasarana antara lain risk assessment metodology, sistim informasi, internal control dan sumber daya manusia yang memadai untuk menjamin efektivitas risk management process itu sendiri.

Dengan penerapan risk management diharapkan setiap langkah dari business unit akan dapat dimonitor oleh top management untuk koordinasi serta mengurangi moral hazard dari masing-masing business unit untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan keuntungan relatif tinggi (spekulasi) tanpa mengindahkan unsur risiko yang mungkin terjadi. Disamping itu, top management juga dapat melihat eksposur risiko secara konsolidasi bila dikaitkan dengan tersedianya modal Bank.



IV. PERLUNYA PENERAPAN RISK MANAGEMENT DI PERBANKAN INTERNATIONAL



Berkembangnya penerapan risk management pada perbankan tidak terlepas dari kesepakatan dalam Basel Committee for Banking Supervision di Basle (BIS) yang telah beberapa kali mengeluarkan pedoman perhitungan kebutuhan modal minimum yang didasarkan kepada risiko yang dihadapi. Tahun 1988, Basel Committee mengeluarkan pedoman perhitungan kebutuhan modal untuk mengcover risiko kredit. Pedoman ini telah diterima dan diterapkan hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia meskipun dalam pedoaman tersebut masih terdapat beberapa kelemahan-kelemahan.

Perbankan internasional telah mengembangkan pendekatan perhitungan risiko untuk mendapatkan hasil proyeksi yang lebih mendekati kebenaran, mengingat pendekatan Basle Committee lebih bersifat penyederhanaan atas risiko-risiko yang ada untuk memudahkan penerapannya. Disamping itu Basle Committee juga memperkenankan Bank untuk menggunakan modelnya sendiri dalam menghitung risiko dalam rangka perhitungan kebutuhan modal minimum baik untuk market risk (BIS, 1996) maupun credit risk dan operational risk (BIS, 2001).

Model yang digunakan diharuskan mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari Bank Sentral atau lembaga pengawasan jasa keuangan sebelum secara resmi dipergunakan untuk menghitung CAR. Secara umum model yang digunakan dapat menghasilkan perhitungan volatilitas yang lebih akurat serta kebutuhan modal yang lebih rendah bila dibandingkan dengan menggunakan metode standard yang diusulkan oleh Basle Committee. Beberapa persyaratan harus dipenuhi sebelum Bank dapat menggunakan internal model dalam perhitungan CAR. Persyaratan tersebut meliputi minimum requirement secara kualitatif maupun kuantitatif. Persyaratan kualitatif meliputi risk management process yang harus ditempuh oleh Bank diantaranya keterlibatan senior management, sedangkan persyaratan kuantitatif meliputi data, model dan testing metodologi yang harus dilakukan oleh Bank.



V. PERAN SENIOR MANAGEMENT



Keterlibatan senior management dalam risk management process merupakan keharusan dalam risk management di perbankan untuk meyakinkan bahwa strategi dalam risk management, pendekatan perhitungan risiko, delegasi pelaksanaan, dan proses yang diterapkan sudah disetujui oleh management Bank. Sasaran dalam risk management ini agar risiko dikendalikan dengan baik sehingga modal yang ada dapat menopang risiko yang mungkin timbul di masa mendatang.

Keterlibatan senior management dalam penerapan risk management diwujudkan untuk mengetahui kondisi Bank melalui penyampaian laporan-laporan kepada Direksi Bank dan keikutsertaannya dalam risk management committee dimana dalam komite ini bertanggung jawab untuk;

a. menyusun Kebijakan dan Pedoman Penerapan Manajemen Risiko serta perubahannya apabila diperlukan

Strategi kebijakan akan dibuat setiap tahun menjadi input atau acuan bagi business unit membuat business plan. Dalam menyusun strategi kebijakan dalam risk management akan memperhatikan beberapa hal seperti tersedianya modal, expertise yang ada, sistim informasi, dan kapasitas business unit. Ukuran keberhasilan atas strategi ini diantaranya kelancaran dan konsistensi dalam implementasi serta pencapaian target dari masing-masing business unit.

b. mengkoordinasikan dan memantau seluruh penerapan Strategi Manajemen Risiko

Progress penerapan menejemen risiko secara konsolidasi akan dilaporkan secara rutin kepada risk management committee sebagai bahan evaluasi atas penerapan strategi yang telah disusun. Tindak lanjut atas evaluasi in dapat berupa revisi kebijakan dengan maksud untuk menjaga keseimbangan antara risiko yang dihadapi oleh Bank, tersedianya modal serta pencapaian target laba rugi Bank.

c. menyetujui penerapan manajemen risiko yang melampaui wewenang pimpinan satuan kerja operasional

Sebagaimana diketahui bahwa setiap satuan kerja operational (business unit) diberikan limit-limit berkaitan dengan risk untuk menghindari excessive risk. Dalam pelaksanaannya limit-milit dimaksud dapat saja tidak valid karena kalau diikuti maka akan terjadi kerugian yang relatif besar. Dalam kondisi demikian pelampauan limit dapat saja dilakukan dengan catatan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari risk management committee untuk dipertimbangkan sejauhmana effek dari pelampauan limit dimaksud terhadap kondisi Bank secara konsolidasi.

d. menyusun contingency plan dalam kondisi tidak normal

Dalam kondisi tidak normal, maka aturan main dalam risk management mungkin tidak diterapkan dengan baik mengingat apabila tetap diterapkan maka akan terjadi kebuntuan dalam operasi Bank. Dalam kondi demikian risk management committee berwenang untuk menyusun berbagai scenario dalam kondisi tidak normal. Diantaranya pelampuan-pelampuan limit dapat saja dilakukan dalam kondisi tidak normal.

e. memantau kecukupan permodalan Bank terhadap risk exposure sesuai ketentuan BI yang berlaku

Tanggung jawab atas kecukupan permodalan Bank dapat berada pada risk management committee dimana didalammya termasuk Presiden Direktur dan mayoritas anggota Direksi. Mengingat monitoring atas posisi risiko Bank selalu dilaporkan kepada risk management committee maka indikasi kekurangan modal sudah dapat dideteksi secara dini serta dapat segera diambil kebijakan untuk mengatasinya.

f. mengevaluasi efektifitas sistem manajemen risiko yang diterapkan

Risk management system yang diterapkan tentunya diperlukan penyesuaian apabila terdapat perubahan-perubahan dalam komponennya. Peningkatan kompleksitas operasional tentu akan mempengaruhi pendekatan yang diterapkan. Bank yang mendapatkan otorisasi memberikan jasa pelayanan valuta asing (Devisa) tentunya risk management system akan berubah mengingat risiko nilai tukar akan menjadi tambahan risiko Bank. Volatilitas faktor risiko yang tinggi akan mengakibatkan volatilitas yang sudah ditetapkan perlu direvisi. Dalam pelaksanaannya, risk management unit (risk manager) akan memberikan seluruh informasi yang diperlukan berkaitan dengan risk management committee sebelum diputuskan dalam rapat komite.



VI. BASEL I



Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara.

Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.



VII . BASEL II



Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal

Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional. Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.

Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsepkerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem inidibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.

Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional

Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.

Jika dilihat, Basel II memiliki berbagai kompleksitas dan prakondisi yang cukup berat bagiperbankan. Tetapi wajar jika melihat manfaat yang akan didapat perbankan nanti, berupa penghematan modal dalam menutup risiko yang diambilnya. Manfaat lain, karena Basel II merupakan standar yang diakui secara internasional, akan mudah bagi suatu bank yang akan beroperasi secara global untuk dapat diterima oleh pasar internasional, kalau mengikuti standar ini.



Memaksimalkan manfaat implementasi Basel II



Basel II menghitung kebutuhan modal yang sesuai dengan profil risiko bank, serta memberikan insentif bagi peningkatan kualitas dalam praktek manajemen risiko di perbankan. Menggunakan berbagai alternatif pendekatan (approaches) dalam mengukur risiko kredit (credit risk), risiko pasar (market risk) dan risiko operasional (operational risk), maka hasilnya adalah perhitungan modal bank yang lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive capital allocation). Dalam Basel II, perhitungan modal bank ini dimuat dalam Pilar-1 Minimum Capital Requirement. Dalam berbagai alternatif pendekatan di atas pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu pendekatan standar berlaku untuk seluruh bank (standardised model) dan model yang dikembangkan secara internal sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual bank (internal model) sehingga lebih sophisticated.



Komparasi di antara 2 pendekatan di atas, maka internal model secara umum diharapkan dapat menghasilkan perhitungan kebutuhan modal yang lebih tepat sesuai dengan risiko yang dihadapi oleh bank. Ini akan menjadi insentif bagi bank tersebut. Kondisi ini diharapkan menjadi pemicu bagi upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas manajemen risiko sehingga pada saatnya dapat mengoptimalkan insentif yang dapat diperoleh dalam menghitung kebutuhan modal.



Dalam menilai kelayakan modal bank, maka selain alokasi modal berdasarkan Pilar 1 harus turut pula dihitung alokasi modal untuk antisipasi kerugian karena risiko-risiko lain seperti risiko likuiditas (liquidity risk), risiko strategik (strategic risk), risiko suku bunga di banking book (interest rate risk in the banking book) dan risiko-risiko lainnya.

Pendekatan di atas dirangkum dalam Pillar 2 – Supervisory Review Process dan disebut sebagai Individual Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) yang akan menjadi tantangan bagi bank dan pengawas. Diperlukan peningkatan kompetensi dan kapasitas pengawas yang didukung oleh perangkat ketentuan pengawasan sehingga pada waktunya dapat melakukan penilaian secara efektif atas risiko lain selain di Pilar 1 bahkan dapat meminta kesediaan bank untuk menambah modal apabila perhitungan modal bank tersebut dipandang belum memadai.

Selanjutnya, peran aktif ma syarakat dalam mengawasi bank dipandang menentukan juga sehingga dari awal masyarakat diharapkan mampu pula menilai risiko yang dihadapi serta mengetahui tingkat kecukupan modal yang dimiliki oleh bank seperti terangkum dalam Pillar 3 - Market Discipline. Sinergi penerapan dari ketiga Pilar yang terdapat dalam Basel II di atas tidak dapat dipisahkan dalam mencapai industri perbankan dan sistem keuangan yang sehat dan stabil.



Dampak implementasi Basel II terhadap ketahanan sistem perbankan



1. Apakah bank mengalami penurunan CAR sampai dibawah minimum 8% ?

Bank Indonesia bersama sejumlah bank terus melakukan secara periodik studi dampak kuantitatif untuk melihat konsekuensi penerapan Basel II terhadap modal bank. Oleh karena itu, dampak Basel II terhadap modal bank semestinya dilihat secara individual dan menjadi kewajiban untuk sejak dini melakukan penilaian serta meningkatkan efektifitas penerapan manajemen risiko agar dapat secara optimal memanfaatkan insentif yang ada. Penurunan CAR bisa sampai terjadi bagi bank yang risikonya memang lebih besar, namun bagi bank yang kreditnya didominasi oleh retail dan KPR akan menyebabkan perhitungan kebutuhan modal yang lebih rendah, karena ATMR retail dan KPR lebih rendah dari yang sekarang diterapkan.



2. Apakah Basel II akan diterapkan untuk seluruh bank umum ?

Fokus implementasi Basel II di Indonesia adalah pengembangan dan peningkatan kualitas manajemen risiko oleh perbankan nasional sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Upaya ini tentu tidak memilah antara bank besar dan bank kecil karena budaya manajemen risiko tentu berlaku sebagai patron yang umum.

Sementara itu, berdasarkan hasil survei perbankan juga menghendaki agar Basel II dapat diterapkan kepada seluruh bank untuk mengurangi dampak negatif terhadap tingkat persaingan antar bank akibat perbedaan kemampuan dan kesiapan bank menerapkan dan mengembangkan manajemen risiko beserta infrastrukturnya. Pendekatan yang standar pada Basel II akan dapat diterapkan bagi seluruh bank di

Indonesia.

3. Mungkinkah implementasi Basel II menghambat proses intermediasi

Penerapan Basel II tidak dimaksudkan untuk menghambat proses intermediasi yang telah dilakukan perbankan selama ini. Ataupun, dalam lingkup makro, mengurangi dominasi perbankan dalam pembiayaan roda perekonomian. Pendekatan-pendekatan yang ditawarkan dalam Basel II secara keseluruhan lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk mereposisi dan meredefinisi apa yang telah dilakukan perbankan dengan fokus pada pengelolaan risiko.

Dalam kaitannya dengan fungsi intermediasi, Basel II bukanlah suatu framework yang mekanistis dimana tidak terdapat ruang untuk toleransi. Beberapa klausul diskresi nasional (national discretion) memberikan keleluasaan untuk itu. Jika implementasi Basel II diperkirakan akan menyebabkan penurunan eksposur untuk sektor tertentu (misalnya disebabkan penggunaan peringkat dalam pemberian kredit kepada korporasi dalam pendekatan standar untuk risiko kredit), maka pada bagian lain, implementasi Basel II juga mendorong peningkatan eksposur untuk sektor lainnya seperti kredit untuk sektor retail (misalnya kredit usaha kecil, perorangan, dan lain-lain) dan perumahan melalui penurunan bobot risiko kredit untuk masing-masing sektor tersebut. Proses perpindahan tersebut disadari akan menimbulkan efek kejutan bagi bank, debitur dan perekonomian pada umumnya. Namun demikian, efek tersebut diharapkan tidak berlangsung lama dan hanya bersifat “fine tuning” yang lazim dalam suatu perekonomian.

4. Apakah dampak bagi bank yang saat ini sedang berupaya meningkatkan permodalan dalam kerangka implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia Peningkatan permodalan bank dalam kerangka implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia secara tidak langsung merupakan sarana bagi bank untuk mengimplementasikan Basel II dengan baik. Dukungan permodalan yang memadai akan memungkinkan bank untuk mengembangkan sumber daya manusia dan teknologi informasi yang diperlukan dalam mengimplementasikan Basel II. Dengan demikian, kewajiban pemenuhan modal inti minimum bank umum sebesar Rp80 miliar pada akhir tahun 2007 dan Rp100 miliar pada akhir tahun 2010 selain dapat meningkatkan skala ekonomis dalam pelaksanaan kegiatan operasional juga memberikan kesempatan bagi bank untuk meningkatkan kemampuan manajemen risiko dalam kerangka implementasi Basel II.

5. Apakah prasyarat agar Basel II dapat diterapkan dengan baik Prasyarat utama agar Basel II dapat diterapkan dengan baik meliputi:

o Penerapan manajemen risiko di bank sebagaimana telah diatur dalam PBI No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum

o Penyesuaian standar akuntansi yang mengacu kepada standar akuntansi internasional (IAS) antara lain IAS 32 dan IAS 39.

o Penerapan perhitungan permodalan secara konsolidasi dengan perusahaan tertentu dalam sektor keuangan kecuali asuransi

o Pengakuan perusahaan pemeringkat oleh Bank Indonesia untuk dapat melakukan rating terhadap debitur bank

Rencana Implementasi Basel II di perbankan Indonesia : Tuntutan Kesiapan Bank Indonesia dan Perbankan Dalam Basel II dinyatakan bahwa setiap otoritas pengawas perlu mempertimbangkan aspek prioritas sebelum mengadopsi Basel II. Melalui implementasi Basel II, Bank Indonesia pada dasarnya ingin meningkatkan aspek manajemen risiko agar bank semakin resisten terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam negeri, regional maupun internasional. Dengan mempertimbangkan kondisi perbankan dewasa ini maka Bank Indonesia secara realistis menetapkan format yang diambil dalam langkah implementasi Basel II. Untuk itu pendekatan yang akan dilakukan sebagai default adalah pendekatan yang paling sederhana, yaitu standardized approach. Artinya seluruh bank akan melakukan penyesuaian perhitungan kecukupan permodalan berdasarkan pedoman

yang diatur dalam Basel II. Basel II juga memungkinkan adanya pengaturan yang disebut national descretion, suatu pertimbangan yang diputuskan oleh otoritas pengawas setempat yang mempertimbangkan kondisi dan kompleksitas dari produk perbankan Indonesia.

Untuk mendapatkan rekomendasi pengaturan yang tepat dalam pembahasan substansi Basel II termasuk national descretion, Bank Indonesia membentuk kelompok kerja (working group) bersama perbankan. Rekomendasi pengaturan akan diformulasikan dalam bentuk Consultative Paper (CP) yang akan didistribusikan kepada stakeholders khususnya perbankan untuk dimintakan masukan/pendapat dan saran Selama ini banyak salah paham khususnya di kalangan perbankan bahwa nantinya bank akan diwajibkan untuk menerapkan pendekatan yang lebih advanced, sehingga mewajibkan bank harus menginvestasikan lebih untuk IT/Database yang dinilai sangat mahal dan ini jelas memperberat bank. Pada prinsipnya bank diberikan keleluasaan untuk dapat menerapkan pendekatan yang lebih advanced seperti IRB apabila dari kesiapan IT,

SDM dan System serta Bank Risk Profile yang mendukung diyakini dengan menerapkan pendekatan yang lebih advanced bank dapat memperoleh benefit, maka bank dimaksud dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia. Pengawas BI akan melakukan validasi terhadap kesiapan bank dimaksud sebelum mengijinkan bank menghitung kecukupan modal dengan perhitungan yang dilakukan sendiri. Bank Indonesia sedang mendidik khusus pengawas bank yang nanti akan bertindak sebagai validator market risk dan validator credit risk.



Implementasi Basel II di Negara Lain

Berbeda dengan negara-negara G-10, tenggat waktu implementasi Basel II bagi negara negara di luar anggota G-10 tidak ditetapkan. Ini sejalan dengan keberadaan Basel II yang pada dasarnya bukan suatu “undang -undang” yang legally binding dan mengenakan sanksi bagi negara yang tidak menerapkan. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa penilaian terhadap stabilitas sektor finansial suatu negara tidak akan didasarkan pada pelaksanaan Basel II tapi lebih didasarkan pada pemenuhan negara tersebut terhadap 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision (BCP). Untuk hal ini, pemenuhan Indonesia terhadap BCP selalu menunjukkan arah yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Memang ragam kesiapan dan kebijakan masing-masing negara dalam mengimplementasikan Basel II akan sangat unik. Kondisi, struktur dan kompleksitas

kegiatan usaha perbankan serta kualitas pengawasan bank menjadi faktor-faktor yang turut berperan dalam penetapan kebijakan tersebut. Di Amerika Serikat, misalnya, advanced IRB (A-IRB) hanya akan diadopsi oleh 10 grup bank terbesar yang memang telah dikenal sebagai internationally active banks, sementara bank-bank lainnya akan menerapkan format Basel II yang disebut Basel IA.



VIII. ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA (API)



Dalam menjalankan sebuah sistem perbankan yang baik, perlu ada nya pilar-pilar yang menyangga agar sebuah sistem tersebut dapat berjalan. Dalam sistem perbankan indonesia, pilar ini disebut dengan arsitektur perbankan indonesia (API). Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan . Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan.

Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut. Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.











GAMBAR 1. ENAM PILAR API







IX. PERATURAN BANK INDONESIA



Peraturan Bank Indonesia adalah peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia berkenaan dengan kegiatan perbankan yang wajib dipatuhi Nasabah dan Bank dari waktu ke waktu.

Ada beberapa PBI yang terkait dengan manajemen risiko sebagai berikut :

1. PBI No 5/8/PBI/2003 tertanggal 19 Mei 2003

Tentang Penerapan Manajemen Risiko Untuk Bank Umum

2. PBI No. 7/25/PBI/2005 tertanggal bulan Agustus 2005

Tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum

3. PBI No. 11/19/PBI 2009 Tertanggal 4 Juni 2009

Tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum

Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah PBI tentang perubahan atas PBI NO.5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum.

Latar belakang penerbitan PBI ini adalah dengan semakin meningkatnya risiko yang dihadapi oleh Bank, Bank perlu mengendalikan risiko dimaksud sehingga kualitas penerapan manajemen risiko di Bank menjadi semakin meningkat. Upaya peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko tidak hanya ditujukan bagi kepentingan Bank tetapi juga bagi kepentingan nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan nasabah dan dalam rangka pengendalian risiko adalah transparansi informasi terkait produk atau aktivitas Bank. Selain itu peningkatan kualitas penerapan manajemen risikodiharapkan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis risiko yang dilakukan oleh Bank Indonesia.



Pokok - Pokok Pengaturan dalam PBI

a. Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, baik untuk Bank secara individual maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.

b. Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk seluruh risiko (8 risiko). Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Risiko paling kurang untuk 4 jenis Risiko, sebagaimana diatur dalam pengaturan sebelumnya untuk Bank yang tidak memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang tinggi, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional.

c. Untuk mempermudah integrasi antara Manajemen Risiko dan Tingkat Kesehatan bank, peringkat risiko dikategorikan menjadi 5 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate), 3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High). Sementara itu, Bagi Bank Umum Syariah, peringkat risiko dikategorikan menjadi 3 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Moderate), dan 3 (High).





Referensi :



1. Beberapa Web, minta ijin ambil beberapa tulisannya.

2. Bessis, Joel. (2002). Risk Management in Banking. Second Edition, West Sussex, John Wiley and Sons.

3. Malawi. (2007). Risk Management Guidelines for Banking Institutions

4. http://www.bi.go.id





















No comments: